Provinsi Bengkulu mencatat angka yang memprihatinkan terkait pernikahan anak. Sepanjang 2024, terdapat 651 kasus pernikahan anak, menjadikan Bengkulu sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di Sumatera dan salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Data ini mencuat dalam pertemuan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) tingkat Provinsi yang digelar oleh Cahaya Perempuan Women Crisis Center (WCC) Bengkulu, Rabu (4/12). Acara ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HaKTP)yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember.
Direktur Cahaya Perempuan WCC, Leksi Oktavia, menjelaskan tingginya angka pernikahan anak di Bengkulu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu yang paling menonjol adalah mudahnya pengeluaran dispensasi kawin, yang memungkinkan anak di bawah umur menikah dengan persetujuan pengadilan atau pihak tertentu.
“Selain dispensasi kawin, norma sosial dan budaya yang masih menganggap wajar pernikahan usia dini, minimnya pendidikan, dan pengaruh media sosial juga menjadi penyebab utama,” ujar Leksi.
Pernikahan anak memiliki dampak jangka panjang yang serius, terutama bagi anak perempuan. Dampak tersebut meliputi pendidikan yang terputus, risiko kesehatan, tekanan psikologis, hingga meningkatnya angka kemiskinan dan perceraian.
Cahaya Perempuan WCC bersama mitra telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menekan angka pernikahan anak. Salah satunya adalah berkoordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di berbagai kabupaten, tokoh adat, tokoh agama, dan pihak pengadilan.
“Kami terus berupaya memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak buruk pernikahan anak,” kata Leksi.
Peningkatan sinergi antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga terkait diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan anak dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda di Bengkulu.